Oleh: Rai Inamas Leoni
Kembali aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Mungkin
perasaanku saja, ujarku dalam hati. Ku lirik jam tangan ku yang
menunjukan jam 4 sore, pantas keadaan parkiran sudah sepi. Hanya ada
beberapa motor yang masih setia menunggu majikannya untuk pulang. Aku
sendiri baru selesai dari ekskul ku yaitu jurnalistik. Sebenarnya belum
selesai, hanya saja aku izin pulang lebih awal. Mood ku dari tadi pagi
sedang tidak bagus, ditambah cuaca hari ini yang selalu mendung.
Aku tersenyum ketika melihat motor kesayangan ku dari kejauhan. Waktunya
pulang, batinku lirih. Kulangkahkan kaki menuju motor matic ku. Tak
sampai 5 langkah, aku menghentikan langkah ku. Mereka benar-benar lupa…
Rasanya aku ingin menangis saja. Kenapa mereka semua bisa lupa hari
ulang tahun ku? Bahkan Agha pun juga tidak ingat. Aku sengaja tidak
mengatakan apa-apa kepada mereka tadi pagi. Aku masih menunggu hingga
mereka sadar, bahwa temannya yang satu ini sedang merayakan hari
kelahirannya. Tapi, segitu buruk kah ingatan mereka? Ingin sekali aku
berteriak di parkiran ini.
Dengan kesal, aku berjalan secepat mungkin menuju motorku. Lebih baik
pulang, tiduran di kamar sambil membaca novel. Lupakan hari ulang tahun
ku!! Namun langkah itu mulai terdengar kembali. Siapa? Apakah penguntit?
Tanpa sadar aku mulai sedikit berlari, dan langkah itu pun juga
terdengar sedang berlari mengejarku. Tunggu. Kenapa aku mendengar
langkah kaki banyak orang? Jangan-jangan aku akan dikeroyok. Oh tuhan,
lindungilah aku.
Karena penasaran, ku beranikan diriku untuk menoleh ke belakang secepat
mungkin, melihat apa yang terjadi sebenarnya. Dan sedetik kemudian aku
merasa butiran-butiran putih mengenai seluruh tubuhku. Lalu disusul
dengan cairan kuning mengenai rambutku. “Happy Birthday Nara,” ujar mereka serempak lalu tertawa terbahak-bahak.
Kulihat Nadya, Lunna, dan Dinda sedang membawa sisa-sisa tepung, yang
tentu saja juga mengenai baju mereka walau tidak sebanyak aku. “Oh
shiiitt.. Kalian gila apa?” teriakku kesal walau hati kecil ku merasa
senang. Senang karena mereka ingat aku.
“Ya ampun, gitu aja ngambek. Sini gue kasi lagi,” Tio lalu melemparkan
telur ke kepala ku dan semua kembali tertawa. Aku hanya bisa menunduk,
membiarkan cairan kuning itu jatuh ke tanah. Dan tidak lama kemudian aku
melihat Rizky membawa seember air. Buru-buru aku lari, namun ditahan
oleh Nadya dan Dinda. Dan jadilah kami bertiga terkena air.
“Ya Rizky, kenapa gue jadi kena sih? Ini kan air bekas pel Pak Komar.
Sialan lo!” rengek Nadya lalu melempar tepung yang tersisa kearah Rizky.
Rizky pun mencoba untuk menghindar. Aku tertawa melihat mereka. Mereka
bener-bener pasangan yang serasi.
Dan entah dari mana, Lunna tiba-tiba membawa blackforest yang berisi angka 16 kehadapan ku. “Make a wish dulu donk, Ra.”
Aku mulai memejamkan mata untuk berdoa. Ku buka mata secara perlahan
sambil menatap satu persatu teman sekelas ku di XI IPA 2. Nadya, Rizky,
Dinda, Lunna, Tio, dan.. “Agha mana?” tanya ku polos.
Kulihat raut wajah mereka berubah. Lalu Dinda menyela, “Agha lagi
nganter Putri ke toko buku. Lo tau lah Putri, ee.. dia anak baru,”
Kulihat Dinda sejenak ragu-ragu. “Bu Siska tadi nyuruh Agha buat nemenin
Putri beli buku pelajaran.”
“Oh,” Hanya itu kata yang keluar dari mulut ku. Kupaksakan untuk
tersenyum. Melihat perubahan ekspresiku, Tio yang memang terkenal jahil
mulai melumuri wajahku dengan krim yang ada di kue, lalu disusul oleh
Dinda. Tak mau kalah, aku langsung membalasnya. Selang beberapa menit,
kami berenam sudah menjadi badut amatiran yang wajahnya dipenuhi krim.
Agha Daniswara. Nama yang sudah tak asing lagi di telinga ku. Selain
letak rumah yang bersebelahan, kami juga selalu satu sekolah bahkan
sekelas. Dimana ada Agha, selalu ada aku. Aku seperti menemukan sosok
kakak di dalam diri Agha, karena aku sendiri anak tunggal. Menjadi anak
tunggal memang mengasyikan. Semua perhatian Mama dan Papa tercurah untuk
ku tanpa harus terbagi. Namun hidup sendiri tanpa saudara juga sangat
menyedihkan malah membosankan. Kadang aku iri kepada mereka yang
memiliki kakak atau adik. Tapi, selama ada Agha yang selalu disamping
ku, hidup menjadi anak tunggal tidak masalah.
Sejenak aku memejamkan mata, mencoba mengingat kejadian tadi sore. Yang
terlintas dibenak ku hanya lah Putri. Murid pindahan yang seminggu
terakhir mencuri perhatian teman-teman sekelas. Ya, dia cantik dan
modis. Dan tak butuh waktu lama, aku yakin Putri akan menjadi salah satu
deretan siswi populer di SMA Tunggadewi.
Aku kembali membuka mata. Kulirik foto yang terpajang manis di meja
belajarku. Foto dua anak SD yang sama-sama membawa balon. Aku masih
ingat, saat itu hari ulang tahun Agha yang ke-10. Mama Agha atau biasa
ku panggil Tante Mita ngotot untuk menggambil foto kita berdua. Untuk
kenang-kenangan katanya.
Alunan lagu Only Hope milik Mandy Moore terdengar dari meja belajarku.
Dengan malas aku bangkit dari tempat tidur. Siapa sih yang nelpon
malam-malam? Dengan kesal ku tekan salah satu tombol di HP, tanpa
melihat nama yang tertera di layar. “Halo,” sapaku enggan.
“Akhirnya diangkat juga. Ra, buruan ke balkon sekarang.” ujar seseorang
yang aku kenal. “Jangan lupa pakek jaket, dingin banget disini. Gue
tunggu, Ra.”
Belum sempat aku menjawab, telepon sudah di tutup. Sialan Agha. Aku yang
masih binggung atas ucapanya buru-buru membuka lemari mencari jaket
tebalku. Tak butuh waktu lama, aku sudah berdiri di balkon kamarku yang
bersebelahan dengan balkon kamar Agha. Kamar ku dan kamar Agha sama-sama
ada di lantai atas.
“Lo belum tidurkan?” tanya Agha dari balkonnya. Ku lihat Agha
menggunakan kemeja putih dan celana jeans hitam yang membalut tubuh
atletisnya. Sepertinya ia baru pulang.
“Belum lah, masih jam 9 juga. Lo sendiri baru pulang?”
“Iya. Tadi gue nganter Putri beli buku. Capek banget, Ra. Nggak nyangka
kalo si Putri suka baca novel sama kayak lo.“ Ku lihat Agha tersenyum
gembira. Belum pernah aku melihat ia sebahagia ini. Lalu ia menceritakan
kejadian-kejadian yang lucu di toko buku. Aku hanya menanggapi dengan
kata-kata singkat seolah aku menyimak cerita Agha. Walau sebenarnya aku
tidak mendengarkan apa-apa.
Ada sesuatu yang mengganjal. Aku menerawang ke bawah melihat jalanan,
yang tentu saja sepi. Jalan di kompleks perumahan kan tidak seramai
jalan raya.
“Ra? Halo… Nara? Naraaaa… Lo denger nggak sih?” Panggilan Agha membuyarkan lamunan ku.
“Apa? Eh maksud gue, gue denger kok,” ucapku terbata-bata.
Agha mendengus. “Gue tau lo nggak denger omongan gue. Lo lagi mikirin apa sih?
“Kita balik ke setahun yang lalu ya?” ujarku tiba-tiba.
“Apa? Eh maksud gue, gue denger kok,” ucapku terbata-bata.
Agha mendengus. “Gue tau lo nggak denger omongan gue. Lo lagi mikirin apa sih?
“Kita balik ke setahun yang lalu ya?” ujarku tiba-tiba.
Agha terlihat bingung.
“Kita pacaran sampai sini aja. Lagian lo sama gue lebih cocok buat
sahabatan. Entah kenapa gue rindu Agha yang dulu. Agha yang selalu
ngejek gue jelek, Agha yang selalu bandingin gue sama cewek-cewek
populer waktu SMP, sampai Agha yang selalu bangunin gue kalo gue telat
bangun. Semenjak kita pacaran, rasanya ada yang berubah dalam diri
kita.” Sejenak aku memejamkan mata untuk mengatur emosi. “Lo mau kan
kalo kita sahabatan lagi?” tanya ku ragu.
Ku lihat Agha terkejut mendengar ucapanku. Biarlah. Jujur, setelah aku
dan Agha pacaran, aku melihat perubahan sikap diantara kami. Seolah-olah
ada tembok besar disekitar kami. Kami tidak dapat tertawa lepas seperti
dulu saat SMP. Selalu ada sesuatu yang mengikat, mengingatkan bahwa
kita tidak hanya berteman. Suatu komitmen yang bernama pacaran. Tapi aku
sadar semenjak Putri masuk ke kelasku, aku merasa Agha tertarik pada
gadis itu. Dan itu membuat aku muak. Aku kangen sama Agha, teman kecil
ku.
“Kalo itu mau lo, gue terima. Asalkan kita bisa sahabatan lagi kayak
dulu. Jangan gara-gara masalah ini, kita jadi diem-dieman.” ujar Agha
lirih.
“Ya udah, gue duluan balik ke kamar ya. Dingin banget disini.”
Belum sempat aku melangkah, Agha sudah menahanku dan menyuruhku
menangkap sesuatu yang dilemparnya. Untung kali ini aku bisa
menangkapnya dengan tepat.
“Happy birthday Nara. Maunya ngucapin satu tahunan kita jadian. Tapi
kita kan baru aja putus. Gue doain semoga persahabatan kita langgeng
sampai tua nanti.”
Aku hanya tersenyum lalu buru-buru masuk ke kamar. Ku hempaskan diriku
ke tempat tidur. Perlahan kubuka hadiah Agha yaitu sebuah kotak kecil
bermotif strawberry, buah kesukaan ku. Dalam kotak terdapat kalung
berbandul separuh hati dan sebuah kertas kecil.
“Happy birthday peri kecilku dan happy 1st anniversary buat hubungan kita.
PS : Moga lo seneng ama tu kalung
Kurasakan butiran kristal jatuh dari pelupuk mataku, buru-buru aku hapus
dengan tangan. Namun semakin aku berusaha, butiran itu semakin banyak.
Ya Tuhan… Aku yakin akan keputusan ku. Tapi kenapa hati ku terasa perih?
Malam semakin larut. Namun seseorang masih terpaku, terdiam di balkon
kamarnya sambil menatap balkon yang baru saja di tinggal pergi oleh
pemiliknya. Pemilik yang bernama Nara Angelina. Teman kecilnya.
“Naraaa……!”
“Saya Pak! Saya Pak!” teriakku tak karuan. Mata ku mencoba melihat
sekililing. Menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, ini kan
kamarku? Lalu…
“Ouch shittt! Gue kira apa. Gila lo, Ga. Ngapaen lo disini?” ujar ku
kesal. Ku tarik selimut untuk menutupi tubuhku. Berniat melanjutkan
mimpi ku yang tertunda gara-gara teriakan mahluk aneh ini.
Agha tertawa. “Ya ampun, dasar putri tidur. Buruan lo bangun, ini udah jam 10 pagi. Masa cewek males gini?” Agha menarik selimut ku lalu ditaruhnya di sofa.
Agha tertawa. “Ya ampun, dasar putri tidur. Buruan lo bangun, ini udah jam 10 pagi. Masa cewek males gini?” Agha menarik selimut ku lalu ditaruhnya di sofa.
“Agha!! Selimut gue balikin. Lagian ngapain juga bangun pagi? Ini tuh
masih LIBURAN. Tahun ini kita kelas tiga, pasti belajar mulu kerjaannya.
Kasi donk gue nikmatin liburan gue.” Jelas ku panjang lebar.
Ku dengar tawa Agha makin keras, seolah-olah mengganggu tidurku adalah
hal terlucu di dunia ini. Aku hanya bisa pasrah. Beberapa bulan telah
berlalu sejak hari itu. Hari dimana aku putus dengan Agha. Seperti yang
kuduga, setelah kejadian itu hubungan kami kembali seperti SMP dulu.
Dimana kami sering mengejek satu sama lain. Agha kembali pada hobby-nya
yang senang melihat aku menderita. Dan aku kembali pada hobby lama ku,
sering merecoki dia dengan kalimat panjang lebar.
“Cerewet banget sih,” rutuk Agha. “Buruan lo mandi, kita ke toko buku
sekarang. Hari ini terakhir diskon lho. Katanya mau cari novel?” Aku
melirik sebal kepadanya. Agha menghampiri aku, lalu dengan gemas Agha
mengacak-acak rambut ku.
“Bilang aja lo mau beli komik. Pakek alasan gue beli novel lagi. Muna
lo! Dari mana lo tau kalo diskonnya masih?” Kata ku sambil merapikan
rambut ku yang berantakan.
“Dinda yang ngasi tau. Terserah mau percaya atau nggak. Yang penting lo
buruan mandi.” Lalu Agha pergi ke arah meja belajar untuk melihat
koleksi novelku. Aku terkadang heran dengan Agha. Untuk ukuran cowok
tinggi yang jago main basket, masa sih dia masih doyan baca komik.
Apalagi komik favoritnya Detektif Conan. Benar-benar deh si Agha.
“Agha cakep, dengerin gue ya. Gue sih udah dari tadi mau mandi. TAPI
GIMANA CARANYA GUE MANDI KALO LO MASIH BERKELIARAN DI KAMAR GUE???” Dan
tak butuh waktu lama, bantal-bantal di tempat tidurku sudah melayang ke
wajah Agha. Kulihat Agha mencoba menghindar dari serangan bantal-bantal
sambil tertawa, lalu keluar dari kamarku.
Dilihat dari mana pun, kami memang hanya cocok untuk sahabatan.
Setidaknya untuk saat ini. Aku tersenyum dan beranjak pergi dari tempat
tidurku. Bersiap-siap untuk pergi ke tempat favorit kami. Dimana lagi
kalo bukan toko buku. :D
THE END